Senin, 18 Februari 2013


Daulah Abbasiyah: Al-Watsiq Billah, Khalifah dan Penyair

 Al-Watsiq Billah (842-847 M), Harun bin Muhammad Abu Ja'far, disebut juga Abu Al-Qasim Al-Mu'tashim bin Ar-Rasyid. Ibunya mantan budak bernama Qarathis. Al-Watsiq dilahirkan pada 20 Sya'ban 190 H. Ia menjadi khalifah berdasarkan wasiat ayahnya, dan dilantik pada 19 Rabiul Awwal  227 H.

Pada 231 H, Al-Watsiq mengirimkan surat kepada Gubernur Basrah, memerintahkannya untuk kembali menguji para imam dan para muadzin tentang masalah Al-Qur'an yang dianggap makhluk. Dalam hal ini dia melanjutkan pendapat pendahulunya yang menganggap Al-Qur'an itu makhluk. Namun dia bertobat di akhir masa jabatannya.

Pada tahun ini, Ahmad bin Nashr Al-Khazai, seorang ahli hadits dibunuh. Ia dibawa dari Baghdad menuju Samarra dengan tangan diborgol. Al-Watsiq bertanya tentang Al-Qur'an bukan makhluk. Ahmad bin Nashr juga ditanya tentang apakah Allah dilihat dengan mata kepala sendiri di Hari Kiamat atau tidak. Ahmad menjawab dengan sebuah hadits yang menyatakan bahwa Allah bisa dilihat.

Mendengar semua jawaban itu, Al-Watsiq berkata, "Engkau berbohong!"

"Sebenarnya engkau sendiri yang berbohong," balas Ahmad.

Al-Watsiq berkata, "Celaka kamu! Apakah Allah akan dilihat sebagaimana dilihatnya makhluk yang serba terbatas dan Allah juga menempati satu tempat, serta bisa dipandang oleh orang-orang yang melihat. Sesungguhnya aku tidak percaya kepada Tuhan yang memiliki sifat-sifat demikian sebagaimana yang engkau sebutkan."

Orang-orang Muktazilah yang hadir di tempat itu mengatakan bahwa Ahmad bin Nashr halal untuk dibunuh. Karena itulah Al-Watsiq memerintahkan kepada pengawalnya untuk segera membunuh Ahmad.

Pada tahun ini pula Al-Watsiq melepaskan tawanan Muslim dari negeri Romawi sebanyak 1.600 orang. Ibnu Abi Duad, tangan kanan Al-Watsiq, yang menjaga tahanan berkata, "Barangsiapa di antara para tawanan yang mengatakan Al-Qur'an itu makhluk, lepaskanlah. Barangsiapa yang menolak, biarkanlah dia tetap sebagai tawanan."

Al-Khatib berkata, "Ahmad bin Duad banyak mengendalikan tindakan-tindakan Al-Watsiq. Inilah yang membuat Al-Watsiq sering bertindak sangat keras terhadap orang-orang yang menolak mengatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk." Namun diriwayatkan bahwa pada akhir hayatnya dia bertobat.

Mengenai tobatnya ini riwayat lain menyebutkan bahwa ada seseorang laki-laki yang dibawa kepada Al-Watsiq. Orang tersebut diborgol dengan besi sejak dibawa dari negerinya. Saat dihadapkan pada Al-Watsiq, saat itu pula Ibnu Duad hadir.

Sang tawanan berkata, "Beritahukan kepadaku tentang seruan kalian kepada manusia itu, apakah Rasulullah mengetahuinya, namun beliau tidak menyerukannya kepada manusia, atau beliau sama sekali tidak mengetahuinya?

Ibnu Abi Duad berkata, "Rasulullah pasti tahu tentang itu."

Sang tawanan membalas, "Rasulullah mampu untuk tidak menyeru manusia kepada apa yang diketahuinya, sedangkan kalian tidak mampu!"

Orang-orang yang berada di tempat itu bungkam. Sedangkan Al-Watsiq tertawa lalu berdiri dan menutup mulutnya. Dia masuk kamar dan menyelonjorkan kakinya sambil berkata, "Rasulullah mampu untuk tidak menyeru kepada manusia kepada apa yang beliau ketahui, sedangkan kita tidak mampu."

Al-Watsiq memerintahkan pembantunya agar menghadiahkan uang sebanyak 300 dinar kepada orang tersebut. Dia memerintahkan pembantunya untuk mengantarkan kembali orang itu ke negerinya. Sejak itulah Al-Watsiq tidak pernah menguji siapa pun tentang kemakhlukan Al-Qur'an. Ibnu Abi Duad merasa terpukul. Sejak itu dia tidak mendapatkan posisi lagi.

Laki-laki yang diborgol itu adalah Abu Abdurrahman Abdullah bin Muhammad Adzrahmi, yang tak lain adalah guru Imam Abu Dawud dan Imam Nasa'i (dua periwayat hadits yang terkenal).

Al-Watsiq memiliki wawasan yang luas dan memiliki syair-syair yang indah. Ia juga banyak mengetahui tentang berbagai persoalan. Dia memiliki suara yang bisa diubah menjadi seratus macam, ahli memainkan musik, serta ahli meriwayatkan syair dan kisah kasih. Al-Watsiq meninggal dunia pada Rabu 24 Dzulhijjah 232 H, di Samarra.
Add caption



Daulah Abbasiyah: Al-Mutawakkil, Khalifah Pembela Ahlus Sunnah


Nama lengkap Khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M) adalah Al-Mutawakkil Alallah, Ja'far, Abu Al-Fadhl bin Mu'tashim bin Ar-Rasyid. Ibunya seorang mantan budak bernama Syuja'. Al-Mutawakkil lahir pada 205 H. Riwayat lain menyatakan pada 207 H. Ia dilantik sebagai khalifah pada 24 Dzulhijjah 232 H setelah wafatnya Al-Watsiq.

Berbeda dengn para pendahulunya yang cenderung kepada paham Muktazilah, Khalifah Al-Mutawakkil lebih cenderung kepada Ahlus Sunnah. Hal ini dilakukannya dengan cara banyak membantu mereka yang memiliki akidah dan pandangan Ahlus Sunnah. Mencabut aturan yang mengharuskan setiap orang untuk mengatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk. Perintah ini disebarkan ke seluruh wilayah kekuasaannya pada 234 H.

Khalifah Al-Mutawakkil hidup sezaman dengan Abu Tsaur, Imam Ahmad bin Hanbal, Ibrahim bin Al-Munzhir Al-Hizami, Ishaq Al-Muhsil An-Nadim, Abdul Malik bin Habib (salah seorang imam dari kalangan mazhab Maliki), Abdul Azis bin Yahya Al-Ghul (salah seorang murid terbesar Imam Syafi'i), Abu Utsman bin Manzini (pakar ilmu nahwu), dan Ibnu Kullab, seorang tokoh ilmu kalam.

Khalifah Al-Mutawakkil sangat menghormati para ulama Ahlus Sunnah. Ia pernah mengundang mereka menghadiri pengajian yang dihadiri sekitar 30.000 orang. Dalam acara tersebut, ada yang memberikan pujian kepada Khalifah Al-Mutawakkil sampai melewati batas dengan berujar, "Khalifah yang benar-benar khalifah itu ada tiga; Abu Bakar pada saat memerangi orang-orang yang murtad dari ajaran Islam, Umar bin Abdul Azis saat membebaskan manusia dari kezaliman, dan Al-Mutawakkil yang kembali menghidupkan sunnah Rasulullah serta mengubur orang-orang Jahmiyah."

Pada 235 H, Al-Mutawakkil mewajibkan kepada setiap orang Kristen untuk memakai gelang sebagai pengenal bahwa mereka orang Kristen. Pada 237 H, dia memerintahkan bawahannya di Mesir untuk mengganti Abu Bakar bin Al-Laits, seorang Hakim Agung Mesir karena keaktifannya sebagai salah seorang pemimpin gerakan Jahmiyah yang sesat, kemudian diganti dengan Al-Harits bin Miskin, salah seorang murid kenamaan Imam Malik.

Pada 243 H, Khalifah Al-Mutawakkil datang ke Damaskus. Ia sangat tertarik dengan pemandangan kota itu sehingga memerintahkan orang-orangnya untuk membangun sebuah istana di Dariya. Sang Khalifah menetap di Damaskus selama dua sampai tiga bulan, untuk seterusnya kembali ke Irak.

Al-Mutawakkil juga dikenal sebagai seorang yang sangat pemurah dan banyak dipuji karena kemurahan hatinya dalam memberikan bantuan berupa uang dan harta benda. Tentang hal ini, Marwan bin Abu Al-Janub pernah berkata dalam syairnya, "Tahanlah uluran tanganmu dariku dan jangan tambah lagi, karena aku khawatir engkau bersikap sombong dan melakukan kezaliman."

Al-Mutawakkil berkata, "Aku tidak akan menahan tanganku untuk memberi hingga kamu tenggelam dalam kedermawananku."

Khalifah Al-Mutawakkil sangat mencintai istrinya yang bernama Qabihah yang tak lain adalah ibu dari anaknya, Al-Mu'taz. Sebagaimana biasa, sudah menjadi tradisi dalam Bani Abbasiyah untuk mempersiapkan pengganti mereka sebagai khalifah, Al-Mutawakkil melantik anaknya, Al-Muntashir kemudian Al-Mu'taz lalu Al-Muayyad menjadi khalifah setelah ia wafat kelak. Namun kemudian Al-Mutawakkil berubah pikiran dan lebih mengutamakan Al-Mu'taz karena kecintaannya kepada ibunya.

Ia meminta Al-Muntashir untuk menarik dirinya dan menunggu giliran setelah Al-Mu'taz. Namun Al-Muntashir tidak bisa menerima keinginan ayahnya. Keputusan itu pun ditentang majelis yang dibentuk Al-Mutawakkil sendiri. Al-Mutawakkil langsung menurunkan posisi Al-Muntashir dengan paksa. 

Peristiwa ini bersamaan dengan ketidaksenangan orang-orang Turki terhadap Al-Mutawakkil karena beberapa masalah antara mereka. Inilah yang memicu kesepakatan orang-orang Turki dan Al-Munthasir untuk membunuh sang khalifah, ayahnya sendiri.

Suatu malam masuklah lima orang Turki ke tengah-tengah tempat Al-Mutawakkil bersenang-senang, lalu mereka membunuhnya. Turut menjadi korban juga seorang menterinya yang bernama Al-Fath bin Khaqan. Peristiwa tragis ini terjadi pada 5 Syawwal 247 H dan merupakan episode terakhir dari hidup salah seorang khalifah Bani Abbasiyah yang membebaskan negerinya dari pengaruh kaum Muktazilah, Jahmiyah, dan beberapa aliran sesat lainnya, serta menghidupkan kemurnian Al-Qur'an dan sunnah Nabi Muhammad Saw.

cari motor